Lompat ke konten

Mesjid Tidak Perlu Prokes

Ada ustadz di daerah saya, gak percaya di mesjid bisa terjadi penularan wabah. “Bukankah mesjid adalah tempat yg dicintai Allah, tempat yg bersih. Mengapa harus pake prokes. Bukankah ini penghinaan terhadap kemuliaan mesjid?”

Memang ada hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik sebagai berikut:
إذا أراد الله بقوم عاهة نظر إلى أهل المساجد فصرف عنهم
“Apabila Allah menghendaki suatu musibah/ petaka pada suatu kaum, maka Ia memandang kepada ahli masjid, lalu menjauhkannya dari mereka.”

Berikut saya kutip syarah hadis tersebut dalam kitab Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir 1/ 265-266:

Gambar

Ada 2 poin penting yang dapat kita cermati dari syarah hadis tersebut.
Pertama, musibah/ petaka yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah afah diniyah (petaka yang menimpa keagamaan, spritul, ukhrawi).

Adapun kemungkinan yang dimaksud Nabi saw. adalah afah dunyawiyah (petaka keduniaan, seperti wabah, banjir, badai, longsor, kebakaran, gempa bumi, gunung meletus dan lain-lain) adalah kemungkinan yang jauh.

Walhasil, keamanan yang dijamin oleh Allah bagi ahli mesjid adalah keselamatan spritual atau ukhrawi karena mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, sebagaimana firman-Nya dalam surah at-Taubah ayat 18 (Lihat juga: Tafsir Ibn Katsir, h. 867). Bukan keamanan dari wabah dsb.

Kedua, hadis tersebut hanya berlaku dalam kondisi di mana kejahatan/ kemungkaran tidak banyak terjadi. Artinya, jika kemungkaran sudah banyak terjadi, maka dalam hal seandainya hadis tersebut juga mengandung makna bencana keduniaan, dampaknya juga bisa menimpa para ahli mesjid.

Sebagaimana firman Allah swt. dalam ayat berikut:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)

Zainab bin Jahsy pernah bertanya langung kepada Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Bukhari sebagai berikut:
قالَتْ زَيْنَبُ بنْتُ جَحْشٍ: فَقُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، أَنَهْلِكُ وفينَا الصَّالِحُونَ؟ قالَ: نَعَمْ؛ إذَا كَثُرَ الخَبَثُ.

“Wahai Rasulullah, apakah kami binasa padahal di antara kami ada orang-orang yang saleh? Jawab beliau, Ya, apabila sudah banyak terjadi kemungkaran (HR. Bukhari No: 3346)

Tanpa menyangkal betapa mulianya rumah Allah yang bernama mesjid, dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penularan bisa saja terjadi pada saat terjadi kerumunan di dalam mesjid, sebagaimana diberitakan oleh berbagai media baik di luar negeri maupun di dalam negeri.

Jadi, di mesjid juga perlu ikhtiyar untuk menghindarkan para jemaah dari wabah.

Di samping itu, juga dalam rangka menjadi contoh yang baik bagi umat lain tentang kepedulian kaum muslimin terhadap keselamatan sesama dan menjaga nama baik mesjid agar tidak tertuduh sebagai tempat penyebaran virus.

Walhasil, menerapkan protokol kesehatan di mesjid, bukan sama-sekali sebagai tindakan penghinaan terhadap mesjid, malah sebaliknya sebagai tanda kita memuliakan mesjid dan menjaga keselamatan diri kita dan sesama jemaah.

Ustadz tersebut ngebahas lagi. Dia bilang, “Bukankah merenggangkan shaf pada saat shalat berjamaah dan memakai masker adalah perbuatan yang menyalahi sunnah Nabi saw.?

Terkait hukum merenggangkan shaf, disebutkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (2/192) sebagai berikut:

نعم إن كان تأخرهم عن سد الفرجة لعذر كوقت الحر بالمسجد الحرام لم يكره لعدم التقصير

Jika seseorang tidak merapatkan shaf karena uzur seperti cuaca panas di masjidil haram, maka tidak makruh karena bukan niat melalaikan (meremehkan).”

Dengan demikian, untuk mencegah penularan wabah Covid-19, penerapan physical distancing saat salat berjemaah dengan cara merenggangkan saf hukumnya boleh, sah, dan tidak kehilangan keutamaan berjamaah (tidak mengurangi pahala) karena kondisi tersebut sebagai hajat syar’iyyah,

berdasarkan keterangan para ahli di bidang medis dan epidemiologi.
Demikian Fatwa MUI no. Nomor 31 Tahun 2020.
Hal ini juga berlaku pada pemakaian masker pada saat shalat.

Dalam fatwa tersebut juga disebutkan bahwa menggunakan masker yang menutup hidung saat shalat hukumnya boleh dan shalatnya sah karena hidung tidak termasuk anggota badan yang harus menempel pada tempat sujud saat shalat.

Adapun menutup mulut saat shalat hukumnya makruh, kecuali ada hajat syar’iyyah. Karena itu, shalat dengan memakai masker karena ada hajat untuk mencegah penularan wabah COVID-19 hukumnya sah dan tidak makruh.

Hal ini juga sesuai dengan berbagai qaidah fiqhiyah, yang telah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam, di antaranya sebagai berikut:

Gambar

Walhasil, dari penjelasan di atas, tidak benar bahwa merenggangkan shaf pada saat shalat berjamaah dan memakai masker adalah perbuatan yang menyalahi sunnah Nabi saw. Justru sebaliknya, merupakan bagian dari sunnah Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a:

إن الله عز وجل يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تؤتى عزائمه
“Sesungguhnya Allah suka kalau dikerjakan rukhshah-Nya (keringanan yang diberikannya berupa merenggangkan shaf dan menutup hidung dan mulut ketika dihajatkan seperti dalam kondisi wabah)…

…. sebagaimana Allah suka kalau dikerjakan azimah-Nya (hukum yang berlaku dalam keadaan normal berupa merapatkan shaf dan membiarkan hidung dan mulut terbuka) (HR. Al-Baihaqi)

Walhasil, para ulama sejak dulu sudah memfatwakan bahwa merenggangkan shaf seperti di masjidil haram karena menghindari panas hukumnya tidak makruh, tidak mengundang setan, dan tidak berkurang pahalanya.

Rukhkash (keringanan) yang diberikan oleh Allah ada yang bersifat boleh, sunat, bahkan ada yang wajib kita ambil karena hajat atau darurat syar’iayah seperti yang kita hadapi saat ini.

Semangat kita untuk ibadah jangan sampai membuat kita lupa memperhatikan aspek sunnatullah dalam menjaga keselamatan nyawa manusia yang merupakan salah satu hal pokok yang paling dijaga oleh syariat Islam.

Rasulullah saw. sangat marah kepada sebagian sahabat yang berfatwa tanpa ilmu sehingga menyebabkan hilangnya satu nyawa manusia akibat mandi junub dgn mengguyur air ke luka di kepalanya.

Saking marahnya, beliau bersabda dalam hadis riwayat Abu Dawud: “Mereka membunuhnya. Allah akan (membalas) membunuh mereka. Kalau tidak tahu, kenapa tidak bertanya? Obat kejahilan adalah bertanya…”

Sampai begitu kemarahan Nabi padahal hanya satu nyawa, bayangkan seadainya gara2 fatwa tanpa ilmu memyebabkan sekian banyak nyawa melayang?

Sumber twitter @zaki_elqattamy

silahkan kaji juga, kesimpulan ulama-ulana dilink berikut:

https://islami.co/hadis-hadis-daif-dan-palsu-tentang-memakmurkan-masjid-saat-corona/

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.